Meski perayaan Hari Valentine merupakan warisan bangsa Romawi, Paus
Gelasius pada 494 Masehi mengadopsi festival Juno Februata dengan nama
baru Festival Purifikasi Perawan Maria. Tanggal pelaksanaannya sempat
diubah dari 14 Februari menjadi 2 Februari kemudian dikembalikan lagi.
Sejatinya, para pemimpin gereja ingin menggelar festival pagan itu
setelah Kristen menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi. Lupercalia
termasuk dalam prioritas, namun rakyat Romawi menolak.
Hingga akhirnya Paus Gelasius pada 496 Masehi mulai merayakan Lupercalia
dengan diganti nama menjadi Hari Santo Valentinus. Nama ini merujuk
pada Santo valentinus, orang suci dieksekusi kaisar Romawi pada 270
Masehi karena kepercayaannya.
Menurut Ensiklopedia Katolik, ada tiga orang bernama Santo Valentinus,
satu adalah pastor dari Roma, seorang lagi uskup di Interamna, dan yang
lain hidup di Afrika.
Untuk menghapus tradisi kaum penyembah berhala, Gereja Katolik Roma
mengganti nama-nama perawan dengan nama orang-orang suci. Mereka menolak
arisan seks.
Romo Benny Susetyo, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antar Agama dan
Kepercayaan di Konferensi Wali Gereja Indonesia, perayaan Hari
Valentine memang tidak terkait agama tertentu. Dia menambahkan Gereja
Katolik Roma juga masih memperdebatkan soal sejarah Santo Valentinus.
Menurut dia, Hari Kasih Sayang biasa dirayakan di rumah-rumah di Eropa,
bukan dengan pesta-pesta. "Kalau ada gereja merayakan, cuma sekadar
menggelar misa," kata Romo Benny saat dihubungi merdeka.com melalui
telepon selulernya Senin lalu.
Kalau Nasrani tidak mengenal tradisi Hari Valentine, Islam bahkan
mengharamkan merayakannya. "Kalau merayakan berarti ikut mempromosikan
kebatilan," ujar Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta
Pusat, ketika dihubungi secara terpisah.
[fas]
sumber: Serba Serbi Informasi Bercampur Di Sini
0komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !