Maraknya sosok pahlawan yang muncul tiba-tiba dengan kedok dermawan seringkali kita jumpai di masyarakat. Ia pun mendadak menjadi sosok teladan dan terhormat. Namun tak disangka, harta yang didermakan itu hasil korupsi dan kejahatannya pada negeri ini. Para koruptor itu membalut kejahatannya dengan bungkus kepedulian. Padahal dalam agama diajarkan bahwa rezeki yang diperoleh haruslah halal (baik). Setiap perbuatan pasti akan dipertanggungjawabkan, walaupun sekecil biji sawi. Pertanyaan yang akan didapatkan adalah dari mana harta tersebut diperoleh dan untuk apa dihabiskan? Kisah berikut mengajarkan pada kita bahwa berderma tidak perlu dengan melakukan cara haram dan berderma pun tidak selalu ketika kita memiliki banyak harta.
Bai Fang Li, seorang lelaki dari negeri tirai bamboo, yang memiliki rutinitas mengayuh becak. Pekerjaan rutinnya ini hanya memberikan Bai Fang Li pendapatan yang minim. Hidupnya sederhana. Ia tinggal di sebuah gubuk di kawasan Tianjin, Cina yang jauh dari kesan mewah. Ia pergi di saat mentari bersinar di pagi hari dan pulang saat mentari kembali ke peraduannya. Dengan sabar dan telaten ia mengayuh becaknya, mencari penumpang yang bersedia menggunakan jasanya.
Begitulah, dengan kondisi yang apa adanya, Bai Fang Li berupaya mengumpulkan sedikit demi sedikit uang hasil keringatnya untuk berderma. Ia rela mengais makanan sisa supaya ia bias menyumbangkan uangnya pada sebuah yayasan panti asuhan yatim piatu. Ia mulai melakukannya pada tahun 1986. Ia tak mengharap apapun dari yayasan tersebut. Ia pun tak tahu siapa saja anak yang menikmati uang sumbangannya. Yang dia tahu bahwa anak-anak yang ada di yayasan tersebut butuh uluran tangan darinya.
Pada tahun 2001, kala itu usia Bai Fang Li mencapai 91 tahun, ia datang ke yayasan tersebut dengan kondisi sangat lemah. Ia mengatakan pada pengurus yayasan bahwa ia sudah tak sanggup lagi mengayuh becak karena kesehatannya memburuk. Saat itu, ia membawa sumbangan terakhirnya berupa uang 500 yuan yang setara dengan Rp 675.000,00. Dengan uang sumbangan terakhir itu, genaplah sumbangannya pada yayasan sebesar 350.000 yuan, yang setara dengan Rp 472,5 juta. Pada tahun 2005, Bai Fang Li meninggal dunia akibat terserang penyakit kanker paru-paru. Anaknya, Bai Jin Feng, baru tahu kalau selama ini ayahnya telah memberikan sumbangan pada yayasan tersebut.
Bai Fang Li telah pergi selamanya. Ia pergi dengan meninggalkan banyak hal. Semangatnya untuk berderma dan kerja kerasnya dalam bekerja. Banyak penghuni yayasan yang merasa kehilangan sosok Bai Fang Li. Bukan hanya karena uang sumbangannya, namun karena sosok yang rela berderma tanpa pamrih di tengah kesederhanaan hidupnya. Meski hidup dari mengayuh becak, ia punya kepedulian sangat tinggi kepada nasib orang lain yang dianggap tidak seberunyung dirinya. Berderma tanpa pamrih dengan cara yang halal pula…
Sumber : http://jumiesephyrahayu.blogspot.com ( yang diceritakan kembali dari majalah Integrito, Vol 14/IV, Edisi Januari-Februari 2011 )
0komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !