Tulisan ini Qiwoel ambil dari salah satu postingan di situs Kompasiana yang merupakan catatan sekaligus pengalaman pribadi sang penulis terdapat sentuhan rasa sosial dan moral yang menggugah, silakan membaca kawanku, saudaraku :
Suatu keberuntungan setiap kali menjadi kenek angkot selalu mendapat banyak penumpang, itu kata bapak saya sendiri lho. Saya yang saat itu masih usia SMA sebetulnya senang menemani bapak narik angkot, namun tidak selalu diijinkan kecuali pada hari libur. Alasannya, tugas saya adalah belajar dan membantu pekerjaan di rumah, seperti memotong rumput di halaman depan yang mulai tinggi, mengisi bak mandi setiap sore (dari sumur umum yang berjarak sekitar 50 m), mengantar ibu kulakan dagangan, menagih utang, dll. Banyak kejadian selama jadi kenek angkot cukup berkesan, salah satunya mendapat sedekah dari seorang tukang becak.
Tak hendak saya meremehkan tukang becak, namun dimana-mana kenyataannya mereka hidup kekurangan, lebih susah daripada kami (kecuali Pak Jack Soetopo & Pak Harry van Yogya, tukang becak intelek). Meski demikian kok ya ada yang merasa bersyukur dan memberikan sedekahnya. Semula saya tidak tahu, karena setelah turun (ia duduk di kabin bersama sopir, yang terpisah dengan penumpang di belakang, kenek cukup bergelantungan di pintu belakang sambil teriak-teriak mencari penumpang), ia menolak kembalian yang lebih besar dari ongkosnya.
Setelah pulang, baru saya ceritakan kejadian itu dan menanyakan siapa gerangan penumpang itu. Bapak saya yang sempat ngobrol dengannya menjelaskan kalau ia adalah tukang becak yang sedang hoki. Perayaan HUT RI membuat ia mendapat banyak penumpang (rezeki), dan ingin rekreasi ke kota, sehingga gembira malam itu dan mudahnya mengucurkan sedekah. (ditambah melihat penampilan saya yang culun dan memelas kali ye, hehehe….)
Kalau tahu penumpang itu tukang becak, saya tentu ngotot tak mau menerimanya. Kami tak terlalu miskin-miskin amat, bapak saya masih mendapat gaji TNI, angkot milik sendiri, makan tidak terlalu kekurangan, saya empat bersaudara masih bisa sekolah. Tukang becak itu malah yang masih memerlukan, minimal ditabung, karena tidak setiap hari mendapatkan rezeki yang berlebih. Tapi sudahlah, kata bapak tak perlu dipermasalahkan, bagaimanapun kami berterima kasih atas kebaikan tukang becak itu, semoga dicatat amalannya dan ditambah rezekinya. (O ya, saya pernah dimarahi penumpang karena menjulurkan tangan, padahal maksudnya ingin menyerahkan kembaliannya, dikira mau minta ongkos lagi).
Seiring bertambahnya pergaulan, saya menjadi lebih mengerti tentang ‘memberi’. Ternyata ‘memberi’ tidak selalu berbanding lurus dengan ‘kaya’. Banyak orang kaya yang tidak biasa memberi, sehingga orang menyebutnya pelit, namun tidak sedikit yang suka memberi. Demikian pula orang miskin, meski dianggap wajar jika tidak memberi (anehnya tidak disebut orang pelit), namun banyak yang suka memberi dengan ikhlas.
Mungkin kita sering mendengar, “Dari pada memberi banyak, lebih baik memberi sedikit tapi ikhlas”. Boleh jadi seumur hidup tidak akan memberi banyak, jika harus menunggu ikhlas dulu, karena bisa ikhlas itu juga perlu proses. Maka ada yang mengatakan terbalik, berilah yang banyak tak peduli ikhlas ataupun tidak. Bagaimanapapun memberi banyak lebih menguntungkan bagi penerimanya, soal ikhlas dan tidak adalah urusan kita pribadi dengan Tuhan. Rupanya ‘memberi’ dan bisa ‘ikhlas’ adalah sebuah ‘keterampilan’.
Keterampilan itu layaknya seperti mengemudikan kendaraan, yang semakin dilatih akan semakin terampil (lanyah). Hingga pada level yang lebih tinggi, keterampilan itu terpatri di alam bawah sadar. Pembaca yang biasa mengemudi kendaraan, mungkin pernah merasakan kaget setelah selesai ber-hp ria tiba-tiba sudah sampai ke tempat tertentu, tak sadar sudah melewati tempat-tempat yang biasa dilewati. Banyak orang yang mudahnya memberi sedekah, spontan tanpa pikir, menganggap seperti membuang barang tak berharga saja, ‘memberi’ seperti sudah di alam bawah sadarnya.
Saya sering mendengar seseorang yang berkata, “Ah, sudah sepantasnya memberi, lha dia kan orang kaya, kita ini mah nggak perlulah”. Tak jarang seseorang yang berkata begitu ternyata juga sulit jika dimintai bantuannya, misalnya bantuan tenaganya, bisa dibuktikan ketika diadakan kerja bakti bersih-bersih kampung, misalnya. Karena ‘memberi’ adalah suatu ketrampilan, maka kesadaran saya pun berubah. Saya perlu berapresiasi terhadap orang yang suka ‘memberi’, apakah berupa: uang, pikiran, tenaga, perhatian, opini (komentar), tulisan, foto, musik, dll, tak perduli kaya atau miskin.
Umumnya ketrampilan selalu saja berdampak pada kekaguman. Jika kita bisa kagum, itu pun bentuk keterampilan lainnya. Kepada yang masih perlu, mari belajar bersama melatih segala ketrampilan itu. Meskipun jarang ada gurunya, cerita tentang tukang becak yang bersedekah di atas pun kiranya tak menjadi halangan untuk menjadi guru kehidupan kita. (Depok, 28 Januari 2011)
Suatu keberuntungan setiap kali menjadi kenek angkot selalu mendapat banyak penumpang, itu kata bapak saya sendiri lho. Saya yang saat itu masih usia SMA sebetulnya senang menemani bapak narik angkot, namun tidak selalu diijinkan kecuali pada hari libur. Alasannya, tugas saya adalah belajar dan membantu pekerjaan di rumah, seperti memotong rumput di halaman depan yang mulai tinggi, mengisi bak mandi setiap sore (dari sumur umum yang berjarak sekitar 50 m), mengantar ibu kulakan dagangan, menagih utang, dll. Banyak kejadian selama jadi kenek angkot cukup berkesan, salah satunya mendapat sedekah dari seorang tukang becak.
Tak hendak saya meremehkan tukang becak, namun dimana-mana kenyataannya mereka hidup kekurangan, lebih susah daripada kami (kecuali Pak Jack Soetopo & Pak Harry van Yogya, tukang becak intelek). Meski demikian kok ya ada yang merasa bersyukur dan memberikan sedekahnya. Semula saya tidak tahu, karena setelah turun (ia duduk di kabin bersama sopir, yang terpisah dengan penumpang di belakang, kenek cukup bergelantungan di pintu belakang sambil teriak-teriak mencari penumpang), ia menolak kembalian yang lebih besar dari ongkosnya.
Setelah pulang, baru saya ceritakan kejadian itu dan menanyakan siapa gerangan penumpang itu. Bapak saya yang sempat ngobrol dengannya menjelaskan kalau ia adalah tukang becak yang sedang hoki. Perayaan HUT RI membuat ia mendapat banyak penumpang (rezeki), dan ingin rekreasi ke kota, sehingga gembira malam itu dan mudahnya mengucurkan sedekah. (ditambah melihat penampilan saya yang culun dan memelas kali ye, hehehe….)
Kalau tahu penumpang itu tukang becak, saya tentu ngotot tak mau menerimanya. Kami tak terlalu miskin-miskin amat, bapak saya masih mendapat gaji TNI, angkot milik sendiri, makan tidak terlalu kekurangan, saya empat bersaudara masih bisa sekolah. Tukang becak itu malah yang masih memerlukan, minimal ditabung, karena tidak setiap hari mendapatkan rezeki yang berlebih. Tapi sudahlah, kata bapak tak perlu dipermasalahkan, bagaimanapun kami berterima kasih atas kebaikan tukang becak itu, semoga dicatat amalannya dan ditambah rezekinya. (O ya, saya pernah dimarahi penumpang karena menjulurkan tangan, padahal maksudnya ingin menyerahkan kembaliannya, dikira mau minta ongkos lagi).
Seiring bertambahnya pergaulan, saya menjadi lebih mengerti tentang ‘memberi’. Ternyata ‘memberi’ tidak selalu berbanding lurus dengan ‘kaya’. Banyak orang kaya yang tidak biasa memberi, sehingga orang menyebutnya pelit, namun tidak sedikit yang suka memberi. Demikian pula orang miskin, meski dianggap wajar jika tidak memberi (anehnya tidak disebut orang pelit), namun banyak yang suka memberi dengan ikhlas.
Mungkin kita sering mendengar, “Dari pada memberi banyak, lebih baik memberi sedikit tapi ikhlas”. Boleh jadi seumur hidup tidak akan memberi banyak, jika harus menunggu ikhlas dulu, karena bisa ikhlas itu juga perlu proses. Maka ada yang mengatakan terbalik, berilah yang banyak tak peduli ikhlas ataupun tidak. Bagaimanapapun memberi banyak lebih menguntungkan bagi penerimanya, soal ikhlas dan tidak adalah urusan kita pribadi dengan Tuhan. Rupanya ‘memberi’ dan bisa ‘ikhlas’ adalah sebuah ‘keterampilan’.
Keterampilan itu layaknya seperti mengemudikan kendaraan, yang semakin dilatih akan semakin terampil (lanyah). Hingga pada level yang lebih tinggi, keterampilan itu terpatri di alam bawah sadar. Pembaca yang biasa mengemudi kendaraan, mungkin pernah merasakan kaget setelah selesai ber-hp ria tiba-tiba sudah sampai ke tempat tertentu, tak sadar sudah melewati tempat-tempat yang biasa dilewati. Banyak orang yang mudahnya memberi sedekah, spontan tanpa pikir, menganggap seperti membuang barang tak berharga saja, ‘memberi’ seperti sudah di alam bawah sadarnya.
Saya sering mendengar seseorang yang berkata, “Ah, sudah sepantasnya memberi, lha dia kan orang kaya, kita ini mah nggak perlulah”. Tak jarang seseorang yang berkata begitu ternyata juga sulit jika dimintai bantuannya, misalnya bantuan tenaganya, bisa dibuktikan ketika diadakan kerja bakti bersih-bersih kampung, misalnya. Karena ‘memberi’ adalah suatu ketrampilan, maka kesadaran saya pun berubah. Saya perlu berapresiasi terhadap orang yang suka ‘memberi’, apakah berupa: uang, pikiran, tenaga, perhatian, opini (komentar), tulisan, foto, musik, dll, tak perduli kaya atau miskin.
Umumnya ketrampilan selalu saja berdampak pada kekaguman. Jika kita bisa kagum, itu pun bentuk keterampilan lainnya. Kepada yang masih perlu, mari belajar bersama melatih segala ketrampilan itu. Meskipun jarang ada gurunya, cerita tentang tukang becak yang bersedekah di atas pun kiranya tak menjadi halangan untuk menjadi guru kehidupan kita. (Depok, 28 Januari 2011)
0komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !