Oleh Tarlen Handayani dan Adim
Sariban. Sekilas nama ini identik
dengan robot jagoan era tahun 1980-an. Tetapi, Sariban yang kita
bicarakan sekarang bukan robot. Dia seorang pensiunan petugas kebersihan
yang peduli dengan kebersihan Kota Bandung, tempat tinggalnya sejak
tahun 1963.
Setiap hari, kakek dari empat cucu ini pergi dari
rumah sebelum jam delapan pagi mengendarai sepeda kumbang yang kemudinya
ditempel setir mobil. Di tengahnya terpasang bendera Merah Putih. Di
bagian belakang ada dua tempat sampah plastik berisi sapu dan pencapit
besi.
Untuk menahan panas matahari, suami Sukiyem ini memakai
topi caping. Warnanya kuning senada dengan seragamnya. “Kerja saya jadi
relawan kebersihan,” kata Sariban.
Pria kelahiran 8 Agustus 1943
di Magetan, Jawa Timur ini memang mengabdikan dirinya bagi kebersihan
Kota Bandung. Dia menggunakan pencapit untuk mengambil plastik, bekas
makanan, atau daun-daun kering yang dibuang sembarangan. Sariban
mengumpulkan semuanya sebelum memasukkannya ke dalam tempat sampah
terdekat.
Sempat menjadi tukang aduk dan kuli bangunan hingga
tahun 1969, Iban akhirnya diterima sebagai petugas kebersihan di Rumah
Sakit Mata Cicendo pada awal tahun 1970. Setelah 13 tahun, Sariban
mendaftar jadi relawan kebersihan, profesi yang dijalaninya hingga saat
ini.
Pria
yang pensiun dengan golongan terakhir sebagai Penata Muda III A pada
tahun 2000 ini pun bangga memasang tulisan “Relawan Peduli Lingkungan”
di keranjang depan sepedanya. Dia bekerja tanpa ada yang menyuruh, tanpa
ada yang membayar.
Komitmen yang sulit dicari tandingannya sekarang ini.
Buat
Sariban, membersihkan kota adalah sebuah keharusan. “Pasti ada sampah
berserakan, apa salahnya kita datang, memunguti sampah,” kata Sariban
yang selalu mengumpulkan sampah atau memotong rumput di sekitar Taman
Makam Pahlawan Cikutra pada pagi hari.
Tidak hanya membersihkan,
Sariban juga kerap mengingatkan para demonstran di depan Gedung Sate,
Bandung — salah satu lokasi favorit demo — agar tidak membuang sampah
sembarangan. Agar suaranya terdengar, Sariban selalu membawa megafon
alias pengeras suara di keranjang depan sepeda. “Kalau mau demo tidak
apa, asal jangan menyampah,” kata Sariban dengan logat Jawa.
Selain
itu, Sariban punya perhatian khusus terhadap pepohonan di Kota Bandung.
Khususnya, pohon yang dijadikan tempat menempel iklan atau poster.
“Pohon juga bisa menangis kalau disakiti,” ujarnya. “Pohon itu mahluk
hidup juga seperti kita. Bayangkan kehidupan manusia tanpa pohon,
bagaimana kita bisa hidup?”
Sejak tahun 2003, Sariban
berinisiatif mencabuti paku-paku yang tertinggal di pohon (padahal
iklannya sudah tidak ada). Menggunakan linggis, dia bergerak dari satu
pohon ke pohon lain. Dalam tempo satu bulan, Sariban bisa mengumpulkan
15 kilogram paku.
Paku-paku itu, kata Sariban, bertambah banyak
pada masa kampanye. “Semua paku itu saya kumpulkan. Beratnya mungkin
sudah lebih dari satu ton,” ungkap Sariban.
Peraih anugerah
Penjaga Lingkungan Hidup Kota Bandung tahun 2009 ini mengaku sedikit
terhambat untuk mencabut reklame yang dipaku ke pohon. “[Mencabut
reklame] itu hak Satpol PP. Saya harus koordinasi dulu,” katanya.
Sariban
tidak mau menanggapi cemoohan orang yang menilai pekerjaan relawan
sampah hanya dilakukan orang kurang waras. Dia tetap memunguti sampah di
jalan-jalan Bandung.
Daripada mengkritisi pemerintah, Sariban
memilih bekerja secara nyata. “Mulai dari diri kita sendiri. Jangan
lupa, kebersihan itu sebagian dari iman,” ujarnya.
Pada tahun
2011, para siswa SD Juara di Bandung memperingati Hari Pahlawan dengan
mengumpulkan sampah bersama Sariban — bukan mengunjungi Taman Makam
Pahlawan seperti siswa sekolah lainnya.
“Pahlawan itu tidak harus [seseorang yang] gugur di medan perang,” kata Tito Suhendar, Kepala SD Juara.
“Buat saya, Sariban itu pahlawan lingkungan,” kata Mutiah, siswa kelas 4 SD Juara.
sumber : http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/sariban-kakek-pembersih-kota-031345976.html
0komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !